Resensi Novel Rintik Tawa karya Rosa Amanda
Salim
by : Azka
Judul : Rintik Tawa
Penulis :
Rosa Amanda Salim
Penyunting :
Afrianty P. Pardede
Penerbit :
Elex Media Komputindo
Tahun
Terbit :
Cetakan I, Oktober 2014
Halaman :
344 halaman
ISBN :
978-602-02-5104-2
Genre :
Fiksi
Harga : Rp. 59.800-,
“Senyum Tulus
Penebus Duka”
Novel
ini adalah salah satu karya terbaru dari seorang dokter muda yang merangkap
menjadi penulis, Rosa Amanda Salim. Novel Rintik Tawa dari penulis yang
baru berumur 25 tahun ini, tidak kalah dari karya-karya sebelumnya yang cukup
terkenal dikalangan pecinta buku-buku fiksi seperti Akar Hati, Matahari,
Bulan, dan Kau, dan He2+ walaupun ada sedikit penurunan kualitas
jika dibandingkan dengan novel-novelnya yang sebelumnya.
Novel
ini masuk ke bagian new disalah satu
toko buku yang cukup terkenal di Indonesia. Menciptakan suasana dalam cerita
yang ringan dan mudah dimengerti bisa dibilang salah satu ciri khas penulis
yang kerap disapa Ci Manda ditambah lagi dengan membaca novel ini seakan-akan
pembaca akan masuk dan mengahayati dalam-dalam jalan cerita tersebut.
Novel
ini memang cukup sejalan dengan trend
saat ini yang cenderung mengarah ke romansa atau kisah percintaan. Tentu saja ada
hal yang sangat menarik dari novel ini. Unsur-unsur pendidikan terutama
istilah-istilah dan beberapa prosedur dalam sekolah kedokteran ditampilkan
dalam novel ini. Penulis novel alias Ci Manda memang seorang dokter muda yang
baru mengangkat sumpah dokternya pada Oktober 2013. Bisa dibilang beberapa unsur
kedokteran yang ada dalam novel ini memang sengaja ditambahkan oleh si penulis
novel dengan tujuan mengungkapkan dunia paramedis dari sudut pandang berbeda
lewat novel-novelnya. Dibandingkan dengan karya-karyanya yang sebelumnya, novel
Rintik Tawa ini memang lebih menonjolkan sisi kedokterannya, bahkan si
tokoh utama diceritakan memiliki tujuan untuk menjadi dokter karena alasan
khusus yang menjadi keseluruhan inti cerita novel ini.
Sebenarnya
novel ini menawarkan hal baru. Dunia dokter yang jarang tersentuh dalam dunia
fiksi. Sepertinya penulis novel sangat ingin mengungkapkan betapa beratnya
menjadi seorang koas atau dokter muda karena si penulis novel sendiri adalah
seorang dokter yang saat ini tengah bertugas di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sayangnya, hal-hal kedokteran yang menurut
penulis menarik tidak berhasil membuat para pembaca lainnya terpesona. Berbeda
dengan karya-karya Amanda sebelumnya, review
dari novel ini tidak banyak dan komentar-komentar yang ada tidak terlalu bagus
atau tidak memuji-muji isi novel ini.
Review para pembaca yang penulis dapatkan dari www.goodreads.com yaitu situs diskusi buku tidak banyak
yang positif walau ada sedikit pujian yang ditujukan pada novel ini. Jika
dirata-rata ratings atau bintang yang
dberikan pembaca hanyalah 2-3 bintang saja. Cover
dari buku ini bisa jadi sala satu penyebab mengapa novel ini tidak banyak yang
tertarik untuk membacanya. Warna hijau dan biru yang
tidak terlalu kontras mendominasi tampilan luar novel ini. Menurut penulis desain
yang dihadirkan pada cover buku ini
terlalu sederhana, memang cover novel sebaiknya tidak berlebihan
tapi novel yang satu ini benar-benar sederhana dengan font tulisan yang bisa dibilang melengkapi kesan sederhana tadi.
Elex
Media Komputindo berperan dalam terbitnya novel Rintik Tawa ini. Berdiri sejak 15 Januari 1985.
Penerbit ini merupakan salah satu pemain besar dalam industri penerbitan dan
percetakan di Indonesia. Berawal dari antisipasi terlalu berkembangnya teknologi
sehingga buku dilupakan, terbitlah buku elektronika dan majalah-majalah.
Seiring
berjalannya waktu penerbit ini sangat berjasa dalam berkembangny buku-buku
novel di Indonesia terutama untuk novel remaja. Bukan hanya percetakan novel
saja yang dilakukan oleh penerbit yang satu ini, Koran, majalah, sampai komik
dibuat popular oleh penerbit Elex Media Komputindo yang sangat berpengaruh di
Indonesia.
Sinopsis
singkat yang terdapat di bagian belakang cover
ini cukup menarik penulis untuk menelusuri lebih lanjut seperti apa detail-detail
cerita dan jalan cerita didalamnya. Meskipun cukup menarik menurut penulis sinopsis
yang dicantumkan dibagian belakang buku ini terlalu banyak menceritakan isi
buku. Sehingga bisa ditebak sekilas garis besar isi cerita novel ini hanya
dengan membaca sinopsis dibagian belakang
buku.
Hal
itu memang tidak terlalu mengurangi rasa penasaran akan isi detail novel
tersebut. Cerita dengan hal-hal yang tidak terduga bisa menutupi rasa penasaran
itu. Novel ini menceritakan tentang seorang remaja putri bernama Jelita yang
kehilangan kakaknya Jericho akibat kelalaian dari para dokter muda. Berikut
adalah kisah singkat atau sinopsis dari buku novel tersebut.
Jelita
merasakan pedih yang luar biasa di saat sang kakak, Jericho, meninggal akibat
kecelakaan. Jelita merasa meninggalnya sang kakak akibat dari kelalaian para
dokter yang menangani kakaknya. Belum lagi keberadaan sang ayah yang merupakan
dokter senior, membuatnya semakin membenci para dokter yang bisa menyelamatkan
nyawa pasiennya. Jelita menyimpulkan bawah ini adalah pembunuhan. Dia bertekad
untuk menjadi seorang dokter dan menemukan pembunuh kakaknya.
Bima, sahabat
masa kecilnya, yang mengetahui kepedihan hati Jelita selalu hadir menemaninya.
Bersama-sama mengambil sekolah kedokteran dan koas di wilayah yang sama. Tapi
apa jadinya kalau Bima menyukai perempuan lain? Belum lagi kehadiran Dokter
Edmund yang menghukumnya dengan alasan konyol. Hukumah yang sebenarnya memberi
pengaruh baik terhadap hubungan Jelita dan Dokter Edmund. Tapi siapa sangka,
Dokter Edmund ternyata bagian dari dokter yang tak mampu menyelamatkan Jericho.
Dia adalah ‘pembunuh’ itu.
Dilihat dari
sinopsis tersebut tema yang paling mencakupi seluruh bagian cerita adalah kisah cinta dan
kehidupan. Walaupun dibeberapa bagian ada sesuatu yang penulis rasa janggal
atau sangat imajinatif. Hal tersebut adalah bagian dimana seorang dokter pengajar atau dokter senior menjalin
hubungan atau bisa dibilang ‘pacaran’
dengan anak murid calon dokter didikannya sendiri. Walaupun di novel ini
digambarkan dokter senior ini adalah dokter yang masih muda seperti yang
terdapat pada paragraf “Berbeda betul dengan Dokter Edmund. Ia masih muda
tetapi terampil. Situasi segawat apa pun ditanganinya dengan luar biasa tenang.
Dokter Edmund mampu menyelamatkan nyawa pasian tadi dengan sempurna (H.115)”
Paragraf
tersebut adalah salah satu bukti bahwa digambarkannya seorang dokter senior
masih muda. Bukan hanya diparagraf itu saja. Di beberapa paragraf lainnya juga
dicantumkan bahwa ‘Dokter Edmund’ itu disebut sebagai dokter yang masih muda.
Hubungannya dengan Jelita dimulai ketika Jelita masuk sebagai dokter pelatihan
bedah dan Ia melaporkan keadaan seorang pasien bedah kepada Dokter Edmund yang
sebenarnya adalah ahli anestesi.
Kisah
Jelita dan Dokter Edmund yang kompleks ini memang membuat penasaran apa
kelanjutan ceritanya. Bukan hanya kisah kasih Dokter Edmund dan Jelita saja
yang termuat dalam novel ini. Kisah sahabat Jelita yaitu Bima bersama pacarnya
Cessa juga ikut meramaikan tema “percintaan” ini. Cerita ini tak langsung
berjalan lancar. Awalnya Bima dan Jelita adalah sepasang sahabat sejak masa
kecil. Ternyata Jelita menyimpan suatu rasa kepada Bima. Tapi Bima yang tak
menyadari hal itu pun tetap mempertahankan sikap perhatiannya kepada Jelita
tapi hanya sebagai sahabat seperjuangan. Tak lama setelah itu Bima malah pergi
meninggalkan Jelita dan lebih menumpahkan perhatiannya pada Cessa, teman baru
mereka berdua yang sama-sama akan menjadi calon dokter.
Tak
berhenti sampai disitu. Kisah yang bisa dibilang complicated ini masih berlanjut sampai terlibatnya Dokter Edmund
kedalamnya. Dokter Edmund tertarik pada gerak-gerik Jelita yang selalu cermat
menangani segala keluhan pasiennya. Perasaan awal Dokter Edmund kepada Jelita
hanyalah kasihan karena melihat perawakan Jelita yang pucat dan kurus dikutip
dari paragraf
“Apa yang dirasakannya
pada Jelita sekarang membuatnya bingung. Ia jelas tak tertarik pada gadis
kurus, pucat, ringkih, dengan sorot mata yang tajam. Secara fisik Jelita tak
menarik. Tentu saja, kecuali bulu mata lentik yang membingkai mata berwarna
cokelat tua lembut itu. (Rintik Tawa, H.150)”
Cerita
cinta Dokter Edmund-Jelita dan Bima-Cessa berakhir saat Bima dan Cessa
memutuskan untuk menikah. Kisah Jelita pun berakhir dengan bahagia. Walaupun
pada awalnya ayah jelita dokter senior Pratama tidak menyetujui hubungan Jelita
dan Dokter Edmund bahkan berusaha untuk menjauhkan dan memisahkan mereka
berdua. Tetapi takdir berkata lain. Dokter Edmund ternyata adalah orang yang
terlibat dalam kematian kakak Jelita membuat sebuah luka besar dihati Jelita.
Jelita yang begitu teriris hatinya mengalami kecelakaan fatal yang membuatnya
koma sekitar satu bulan.
Tetapi,
Dokter Edmund selalu menjaganya dan selalu baerharap agar Jelita dapat membuka
matanya kembali walau harus membencinya. Jelita berjuang melawan maun yang
hamper merenggut nyawanya. Ternyata dugaan Dokter Edmund salah, Jelita kembali
membuka matanya dan tetap memberikan cinta yang sama kepada Dokter Edmund. Dokter
Edmund tak bisa meliat Jelita menderita lagi dan memberanikan diri untuk
melamar Jelita dan Ia pun menerimanya. Seperti
yang digambarkan pada
“Sejak pertama kali kamu
membuka mata setelah koma satu minggu lebih, aku tahu aku tidak bisa lagi
kehilangan kamu, Jelita. Aku menunggu saat yang tepat untuk meminta kamu
menikah dengan aku. Dan sekarang ini saat yang tepat. –Dokter Edmund (Rintik
Tawa, H.333-334)”
Tema
kedokteran juga muncul dibeberapa kejadian. Datangnya pasien kecelakaan ke UGD
dan langsung dilakukan segala prosedurnya, Ibu hamil yang terlewat bulan, Orang
kejang-kejang secara tiba-tiba, dan berbagai penyakit lainnya digambarkan
dengan jelas di novel ini. Prosedur pelaksanaan dan nama alat-alat pun juga
ikut tertulis beserta cara penggunaannya pada novel itu. Walaupun cukup banyak
bagian yang menunjukkan aktivitas kedokteran, tetap saja keseluruhan cerita
tertutup dengan cerita cinta yang berbelit-belit.
Alur
yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju. Bisa dikatakan demikian karena
tokoh-tokoh mengikuti segala kejadian dan terus bergerak lanjut ke kejadian
kejadian selanjutnya. Berawal dari Jelita remaja yang melihat sendiri kematian
kakaknya sampai Jelita yang sudah beranjak dewasa dan berhasil menyandang gelar
dokter. Pada Bab awal novel ini, diceritakan kisah Dokter Edmund saat masih
koas dan sepenggal kisah kehidupan Jelita bersama Jericho. Ada beberapa bagian
dimana tokoh utama melakukan flashback sekilas. Tetapi tetap saja alur bergerak maju
karena flashback yang dilakukan
benar-benar sekilas hanya untuk mengingat masa lalu dan berusaha melupakannya
seperti yang terlihat pada
“Dadanya sesak ketika
akhirnya dari kantin ia berjalan ke Bangsal Saraf pagi tadi. Menuliskan tanggal
kematian kakaknya di setiap status pasien yang di-follow up Jelita membuat hatinya perih tak terperikan. Enam tahun
lalu ia tengah melihat kakaknya meregang nyawa. Enam tahun lalu juga ia
menangis di pojokan rumah duka tempat kakaknya disemayamkan. (Rintik Tawa, H.131)”
Sudut
Pandang atau point of view di novel ini adalah orang
ketiga yang tau semua hal. Penulis katakan begini berdasarkan dari analisa
penulis sendiri. Karena di novel ini si penulis novel alias Ci Manda
menceritakan semua kejadian yang menimpa tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Analisa penulis dikuatkan lagi dengan tidak adanya penggunaan kata ‘aku’. Di
novel ini pun dituliskan jalan ceritanya jelas dan tidak abstrak atau tidak
diketahui kelanjutannya.
Rumah
sakit sudah pasti latar tempat yang paling sering dalam cerita ini. Banyak hal
yang diceritakan dalam latar rumah sakit. Entah diruang UGD, ICU, Bangsal,
maupun Ruang Operasi (RO). Sebagian besar kegiatan sampai makan siang dan tidur
jaga malan pun diceritakan dirumah sakit ataupun didaerah rumah sakit. Latar
waktu yang paling sering ada adalah malam hari.
Mulai dari jaga malam atau menginap menjaga pasien dirumah sakit,
mengantar dan menjemput pasien ke UGD dan ICU pun digambarkan saat malam hari.
Banyak
juga kejadian yang terjadi malam hingga dini hari seperti datangnya beberapa
ibu-ibu yang ingin melahirkan datangnya tak tanggung-tanggung sekali datang bisa
sampai 9 orang padahal ruang operasi standar hanya ada 3 ruangan. Terkadang
juga ada pasian yang tiba-tiba berontak dimalam hari karena tak menginginkan
obat atau infus.
Hampir
sebagian besar kejadian yang terdaftar dalam novel ini menggambarkan situasi
tegang dan mencekam. Seperti yang
digambarkan pada
“Laporan kasus kematian
yang dibawa Jelita sudah kumal. Keringat dingin bercampur dengan cengkeraman
jemarinya membuat laporan kasus kematian itu pantas buat dijadikan bungkus
kacang goreng. Sekalipun begitu, Jelita membanting laporan kasus kematian ke
pangkuan Dokter Edmund. Lelaki yang begitu dicintainya itu hanya mampu
menundukkan kepalanya. Emosi bercampur aduk menyisakan kalit yang terpampang
jelas di matanya. (Rintik Tawa, (H.280)”
Tokoh-tokoh
yang aktif muncul di novel ini memang tidak banyak. Tetapi itu membuat kita
fokus kepada cerita dan tidak bersusah payah mengingat nama tokoh. Nama-nama
tokoh dan wataknya di novel ini sangat mudah diingat. Mulai dari tokoh utama Jelita
Pratama dengan nama panggilannya Jelita watak tokoh utama ini adalah keras
kepala dan pemaksa. Pemaksa disini bukan memaksakan kehendaknya pada orang lain
tapi lebih kepada memaksakan dirinya sendiri melakukan sesuatu yang sudah tak
sanggup dilakukannya.
Contohnya
saat Jelita melaksanakan jaga malam, ia memaksakan dirinya tidak makan
sampai-sampai badannya kurus kering lemah dengan kantong mata hitam yang
menggelambir. Ia juga memaksakan diri untuk pulang dari apartemen Dokter Edmund
padahal dirinya sedang DBD jangankan berjalan, berdiri saja Jelita sudah
ambruk. Jelita termasuk orang yang tak peduli pada penampilannya seperti yang
digambarkan pada “Teman-teman kampus yang dilewatinya menatap Jelita dengan
bingung. Wajah Jelita sputih kertas dan ekspresinya sedater mayat. Jelita
melewati semua yang ada disekelilingnya bagaikan terbang. Tujuannya hanya satu.
Kamar operasi yang jaraknya tinggal beberapa anak tangga lagi. Tanpa sadar
Jelita melompati hampir dua anak tangga sekaligus. (Rintik Tawa, H.279)”
Lalu
sahabatnya, Bima. Ia digambarkan memiliki
postur tubuh tegak, tinggi sekitar 180cm, dan kekar. Dibagian dagunya ada
belahan bak tentara, hidungnya mancung, dan matanya menatap tajam. Bima adalah
orang yang sangat perhatian tertama kepada Jelita sebelum kehadiran Cessa seperti
yang tertera pada
“Makam Jericko menjadi
saksi bisu janji Bima. Dalam hati Jelita menyesal karena sudah asal menjawab
pertanyaan Bima. Kini di hadapan tubuh kakaknya yang telah menyatu dengan tanah
itu, Jelita merasakan kehangatan lain yang merasuki hatinya. Bukan rasa nyaman
yang biasanya didapatkannya dari Jericko. Tetapi bentuk lain dari sebuah rasa
mendamba. (H.25)”
Dokter
Edmund adalah seorang konsulan atau senior Jelita, Bima, Cessa dan calon dokter
lainnya. Tetapi Dokter Edmund berbeda dengan dokter senior lainnya. Dokter
senior lainnnya terkenal galak dan sering memarahi calon dokter habis-habisan
walau kesalahannya hanya kesalahan kecil. Dokter Edmund berperawakan sedang,
dengan otot lengan yang kekar, kulitnya yang kecoklatan, dengan rambut kasar
tak beraturan didagunya dan kacamata tua yang terlihat sedikit berkarat. Dokter
Edmund sangat dekat dengan Jelita, Ia adalah orang yang lembut penyabar dan
selalu santai seperti yang terdapat di kutipan berikut
“Tak sekali pun Dokter
Edmund memaki atau berteriak ketika memberikan instruksi. Ia menjawab semua
pertanyaan Jelita yang lugu dan polos dengan sabar. Dokter Edmund tidak
marah-marah atas ketidaktahuan Jelita. Ia bahkan menyempatkan dirinya untuk menjelaskan
hal detail yang pelru dipelajari lebih lanjut. (H.85)”
Sosok
Princessa atau kerap disapa Cessa adalah seorang gadis bertubuh mungil dengan
senyum manis dan giginya yang gingsul. Ia adalah teman seangkatan Bima dan
Jelita yang kebetulan mendapat kelompok tugas bersama dengan mereka
berdua. Ia adalah orang baik dan rendah
hati seperti kutipan dibawah ini
“Namun, Cessa juga gadis yang disenangi oleh semua orang. Pembawaannya
menyenangkan, ramah, dan rendah hati. Tidak ada kata sombong dalam kamusnya.
(H.38)”
Bahasa yang digunakan dalam novel ini bukan bahasa
yang berat dan sudah dicerna bisa dibilang bahasanya ringan tetap baku tetapi
enak dibaca. Banyak juga kata-kata yang memiliki makna dalam yang diucapakan
oleh tokoh-tokoh novel ini. Tak sedikit bahasa medis yang mungkin asing
terdengar bagi para pembaca yang belum pernah mempelajari kedokteran. Tetapi
unggulnya novel ini si penulis novel memberikan sisipan kamus kecil di bagian
bawah lembaran novel yang berisi kata-kata yang mungkin sulit dimengerti pada
halaman tersebut.
Bahasa
yang digunakan cenderung sopan. Terlihat baku tetapi membawa suasana santai
saat mambaca novel ini. Kata demi katanya dapat membuat hanyut tenang terbawa
cerita dalam novel ini. Untuk para pecinta novel penulis sarankan bacalah novel
ini karena bahasa yang digunakan sangat bagus dan nyaman dibaca. Walau begitu
penulis masih beranggapan ada beberapa bagian yang dijelaskan secara berlebihan
malah membuat penulis bosan sendiri karena membaca bagian yang kesannya
dipanjang-panjnagkan tersebut.
Tetap
saja kenyamanan saat membaca novel ini malah ada beberapa bagian yang membuat
penulis merasa janggal. Pasalnya, pada sinopsis dicantumkan nama kakak Jelita
ialah Jericho. Tetapi, yang membingungkan adalah di dalam novel ini dituliskan
nama kakak Jelita ialah Jericko atau Jeriko tetapi bukanlah Jericho. Penulis
menjadi sangsi akan kebenaran nama Jericho.
Kelebihan
dari novel ini adalah konsep kedokteran yang jarang ditemui di novel-novel
sastra pada umumnya. Pembawaan cerita yang santai juga menjadi keunggulan novel
ini. Walaupun kisah cinta dalam novel ini begitu kompleks. Jalan ceritanya bisa
tertebak secara garis besar dari awal, tetapi secara tiba-tiba dan tak terduga
berubah dan semakin seru. Terutama saat Jelita menyadari apa peranan Dokter
Edmund pada kematian kakaknya.
Kekurangan
dari novel ini adalah bagisn cover
yang terlihat kurang menarik. Pemilihan warna memang bagus dan tidak terlalu
kontras. Tetapi menurut penulis warna yang dipilih teralu gelap dan kurang
menarik minat pembaca untuk membacanya atau sekedar membolak-balik bukunya
saja. Seharusnya bisa diperbaiki lagi menjadi lebih bagus dan lebih artistik
tidak hanya berupa foto yang ditimpa tulisan. Cover novel ini hanya bergambar sebuah bunga dengan tetesan air dan
genangan air dibawahnya.
Tak sedikit kesalahan
cetak yang terdapat dalam buku ini dan ada beberapa hal yang mengganggu mungkin ini
kesalahan proof reader atau mungkin
kesalahan dalam editing bisa juga
kesalahan dalam proses pencetakan.
Kesalahan ini
begitu jelas terlihat pada
“Setelah
menenmukan cangkir dengan motif paling netral di antara yang lain, Lily
mengisinya dengan air mendidih. Dicarinya bubuk susu di salah satu lemari.
Tetapi taka da bubuk berwarna putih di sana. Toples-toples tertutup warna-warni
itu menyimpan bubuk cokelat tua dan cokelat muda. Sekali lagi Lilu
mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak mau ambil pusing, Lily mengambil kedua toples
itu. Ia membuka keduanya bersaam. Serempak, aroma kopi menyerbu indra
penghidunya. (Rintik Tawa (Rintik Tawa, Hal. 56-57)”
Pada
halalaman 56-57 secara tiba-tiba ada satu paragraf penuh yang menceritakan
Lily? Siapa Lily? Padahal sejak awal tidak ada, tidak disinggung sedikitpun
tentang Lily. Tokoh baru? Tapi mengapa munculnya hanya di paragraf itu ?
Menurut
analisa penulis nama Lily bisa dikatakan rencana nama awal untuk Jelita, bisa
saja penulis novel sudah menulis dengan nama Lily tetapi ditemukannya nama yang
lebih pantas untuk tokohnya itu yaitu Jelita.
Pada bagian ini juga penulis merasa kurang enak dalam membaca
bagian ini yaitu terdapat pada “Tapi saya justru ngerasa segar setelah minum
kopi salah buat kamu kemarin itu.-Dokter Edmund (Rintik Tawa, H.81)”
Penu;is tidak menyalahakan pemakaian kata ‘ngerasa’, tetapi kata
tersebut terlihat kurang sedap dibaca dan dipandang. Seharusnya digunakan kata
‘merasa’ sehingga akan membuat kalimat itu tidak rumpang. Kejadian ini juga
terdapat dibeberapa paragraf lain walaupun tak mengurangi keseruan jalan
cerita.
Walaupun novel ini berkisah tentang kedokteran, kisah ini memang
tak luput dari kisah cinta. Tetapi, ada beberapa bagian yang tidak akan
dimengerti oleh anak-anak dan memang bukan untuk anak-anak yang istilahnya
masih polos. Ada dua bagian yang mengandung unsur yang tidak akan dimengerti
anak-anak. Bagian pertama yaitu
“Bima tak
merasakan sofa di sebelahnya melesak. Tubuh Cessa memang ringan, terlihat dari
postur tubuhnya yang kecil mungil. Pasti
ringan membopong Cessa di malam pertama. Bima benar-benar tersentak sendiri
dengan pikiran yang melintas dikepalanya. Ia buru-buru menghapus pikiran itu
dan memusatkan perhatian pada Cessa. Gadis itu memejamkan mata sambil
menyandarkan kepala ke bantalan sofa. Mengapa
tidak bersandar ke bahuku saja, Cessa?”-Bima (Rintik Tawa, H. 98)”
Bagian itu bercerita tentang Bima yang berandai-andai menghadapi
malam pertama dengan Cessa, temannya sendiri. Bagian kedua tercantum pada
“Dokter
Edmund menaikkan sebelah alisnya. Tak percaya pada pendengarannya sendiri
dengan nada suara Jelita. Dari mana ia
belajar intonasi sesantai itu dalam mengahadapi lamaran serius begini? Tapi ia tahu Jelita tak akan menolaknya.
Karena mereka sama-sama saling menginginkan. “Aku nggak keberatan kok malam
pertama sambil sakit sepala,” DOkter Edmund terkekeh dan mengecup lembut bagian
dalam telapak tangan Jelita. (Rintik Tawa, H.334)”
Bagian itu
adalah bagian penutup dari novel ini.
Selain
beberapa kekurangan tadi, menurut penulis ada satu kekurangan yang sangat
fatal. Yaitu, penulis novel tidak
mencantumkan daftar isi novel ini. Penulis agak kesusahan dalam mencari halaman
dan membaca novel ini karena tidak ada panduan yang biasanya terdapat dalam
daftar isi.
Secara keseluruhan, penulis akui buku novel ini memang layak
untuk dibaca dan dijadikan sumber inspirasi terutama untuk menghadapi
keputusasaan dalam kehidupan. Maksud dari buku ini yaitu memperdalam
pengetahuan tentang dunia medis penulis dapatkan dan dapat penulis serap dengan
baik. Buku ini layak diacungi jempol karena tak mudah menggabungkan antara
unsur pendidikan dengan unsur trend
sekarang-sekarang ini. Penulis menghargai usaha penulis novel dalam
menghadirkan unsur pendidikan kepada novelnya.
Penulis menyukai unsur pendidikan dalam novel ini tetapi karena
penulis kurang menyukai unsur romansa, menurut penulis unsur romansa dalam
novel ini dapat dikurangi agar pembaca tidak terlalu fokus ke percintaan dan
melupakan pendidikannya. Tetapi, itu berdasarkan opini penulis, semuanya
tergantung opini masing-masing. Bila disuruh menilai dari satu sampai lima
penulis akan memberikan nilai tiga koma lima untuk novel yang cukup mengharukan
ini. Penulis penasaran dengan novel bertema pendidikan Rosa Amanda Salim yang
akan datang selanjutnya.
Biografi Penulis Resensi
Azka
Nurul Farhanah Putri Mardidi, lahir di Tangerang pada 18 Oktober 2001. Siswa
SMP Labschool Kebayoran yang kerap disapa Azka ini mengenyam pendidikan dari TK sampai SD di Dahlia dan
sekarang menduduki bangku SMP kelas 8 tepatnya 8E, Azka bercita-cita menjadi
seorang animator dan bergerak dibidang seni. Mendapat jabatan kesenian osis
Tridasa Mahatma Reswara dengan hormat. Beberapa prestasi yang telah
diraihnya, Azka pernah menginjakkan kaki di Lombok, Nusa Tenggara Barat seorang
diri untuk mengikuti lomba FLS2N Kriya Anyam dan mendapat gelar 10 besar. Ia
juga mendapatkan ranking 1 dari kelas
1 hingga kelas 6 SD, ia juga pernah
mengikuti lomba komputer tingkat Jabodetabek dan pulang dengan membawa piala
juara II, dan banyak lagi prestasi non-akademik yang telah diraihnya. Dalam
segi akademik Azka pernah mendapatkan nilai tertinggi IPS dan Seni Budaya saat
ia duduk di bangku kelas 7. Ia juga
senang menulis blog. Saat ini blognya baru memiliki sekitar 18.000+ viewers, blognya beralamat azkanf.blogspot.com.
Pembaca dapat menghubungi penulis lewat email azkanf@gmail.com
atau buffonextreme@gmail.com .